1.
Definisi “khotbah”
Definisi
secara bahasa
“Khotbah”,
secara bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar’. Adapun kata
“khitbah” yang seakar dengan kata “khotbah” (dalam bahasa Arab) berarti
‘melamar wanita untuk dinikahi’. “Khotbah” berasal dari bahasa Arab yang
merupakan kata bentukan dari kata “mukhathabah” yang berarti ‘pembicaraan’. Ada
pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara
besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali
pada perkara besar.
Definisi
secara istilah
Sebagian
ulama mendefinisikan “khotbah” sebagai ‘perkataan tersusun yang mengandung
nasihat dan informasi’. Akan tetapi, definisi ini terlalu umum. Adapun definisi
yang lebih jelas ialah definisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Al-Hufi yaitu,
‘Cabang ilmu atau seni berbicara di hadapan banyak orang dengan tujuan
meyakinkan dan memengaruhi mereka’. Dengan demikian, khotbah harus disampaikan
secara lisan di hadapan banyak orang dan harus meyakinkan dengan
argumen-argumen yang kuat serta memberikan pengaruh kepada pendengar, baik itu
berupa motivasi atau peringatan.
Adapun
terkait khotbah Jumat, tidak terdapat definisi khusus yang diberikan oleh para
ulama karena maksudnya telah jelas.
Dalam
kitab Bada’iush Shana’i, pada pemaparan tentang hukum khotbah Jumat,
disebutkan, “Khotbah, secara umum, adalah perkataan yang mencakup pujian kepada
Allah, salawat kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, doa untuk kaum
muslimin serta pelajaran dan peringatan bagi mereka.”
Penjelasan
ini adalah penjelasan umum dan bukan definisi yang teliti dan memenuhi
syarat-syarat definisi ilmiah.
Adapun
definisi yang hampir pas untuk “khotbah Jumat” ialah ‘perkataan yang
disampaikan kepada sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat
dengan bahasa Arab, sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya,
disertai niat serta diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika
mampu, sehingga tercapai tujuannya.
2.
Definisi “Jumat”
Kata
“Jumat” dalam bahasa Arab bisa dibaca dengan tiga
cara: jumu’ah, jum’ah, atau juma’ah. Adapun bacaan yang terkenal
adalah “jumu’ah”. Demikian pula cara baca pada qiraah sab’ah, dalam firman
Allahta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat
maka bersegeralah mengingat Allah.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Adapun
bacaan “jum’ah” adalah bacaan ringan, yaitu dengan menghilangkan harakat pada
huruf mim, menjadi lebih mudah diucapkan. Adapun cara baca “juma’ah”
berasal dari sifat hari Jumat yang mengumpulkan banyak orang, seperti kata
“humazah” yang berarti ‘orang yang banyak mengumpat’ dan kata “dhuhakah” yang
berarti ‘orang yang banyak tertawa’. Bacaan “juma’ah” dalam bahasa Arab dikenal
sebagi dialek Bani Uqail. Adapun bentuk jamak kata “jumu’ah” adalah “jumu’at”
atau “juma’”.
Sebab
penamaan hari Jumat
Pada
masa jahiliah, hari Jumat disebut dengan hari Urubah, kemudian dinamakan “Jumat”
beberapa saat sebelum Islam datang. Adapun yang memberi nama hari Jumat adalah
Ka’ab bin Lu’ai. Tatkala itu, orang-orang Quraisy berkumpul mendatanginya pada
hari itu, kemudian ia berkhotbah dan memberikan pelajaran kepada mereka. Ada
pula yang berpendapat bahwa penamaan hari Jumat adalah setelah datangnya Islam.
Adapun
tentang penyebab penamaannya, ada beberapa pendapat, yaitu:
Pendapat
pertama: Allah ta’ala menghimpun
penciptaan Adam ‘alaihis salam pada hari itu. Dasar pendapat ini
adalah riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau ditanya,
“Kenapa dinamakan hari Jumat?” Beliau bersabda,
لِأَنَّ
فِيهَا طُبِعَتْ طِيْنَةُ أَبِيكَ آدَمَ، وَفِيهَا الصُّعْقَةُ وَالْبِعْثَةُ،
وَفِيهَا البَطْشَةُ، وَفِي آخِرِ ثَلَاثِ سَاعَاتٍ مِنْهَا سَاعَةٌ مَنْ دَعَا
اللَّهَ فِيهَا اسْتُجِيْبَ لَهُ
“Karena
pada hari itu, tanah liat ayah kalian, Adam, dicetak. Pada hari itu, kiamat dan
kebangkitan terjadi. Pada hari itu pula, kehancuran melanda. Di akhir tiga waktu
pada hari itu, ada satu waktu, barang siapa yang berdoa kepada Allah pada waktu
itu pasti doanya dikabulkan.” (H.r. Ahmad, 2:113)
Pendapat
ini dinilai sahih dalam Fathul Bari dan Nailul Authar.
Pendapat
kedua: Berkumpulnya orang-orang pada hari
itu di Masjid Jami’ untuk shalat.
Pendapat
ketiga: Allah mempertemukan Adam dan Hawa
di bumi pada hari itu.
Pendapat
keempat: Banyak kebaikan di dalamnya.
Sebagian
pendapat di atas, ada yang diambil dari makna kata “Jumat” dan sebagian
disimpulkan dari hadis dhaif. Namun, tidak ada masalah untuk menjadikan
semua pendapat di atas sebagai sebab penamaan hari Jumat. Allahu a’lam.
3.
Hukum khotbah Jumat
Para
ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum khotbah pada shalat Jumat, apakah
termasuk syarat shalat sehingga shalat Jumat tidak sah tanpanya, atau sekadar
sunah sehingga shalat Jumat tetap sah tanpanya. Berkenaan dengan hal ini, para
ahli fikih terbagi ke dalam dua pendapat.
Pendapat
pertama menyatakan bahwa khotbah
merupakan syarat shalat Jumat. Pendapat ini adalah pendapat Hanafiah dan
mayoritas Malikiah. Pendapat ini adalah pendapat yang sahih bagi mereka,
demikian juga Syafi’iah dan Hanabilah.
Disebutkan
dalam kitab Al-Hawi, “Hal ini merupakan pendapat seluruh ahli fikih selain
Hasan Al-Bashri, karena ia menyelisihi pendapat ijma’; ia berkata,
‘Khotbah tidaklah wajib.’”
Disebutkan
pula dalam kitab Al-Mughni, “… Kesimpulannya adalah bahwa khotbah
merupakan syarat shalat Jumat; shalat Jumat tidak sah tanpanya, dan kami tidak
mengetahui pendapat yang bertentangan kecuali pendapat Hasan.”
Pendapat
kedua menyebutkan bahwa khotbah
merupakan sunah Jumat. Ini merupakan pendapat Hasan Al-Bashri.
Pendapat
ini juga diriwayatkan dari Imam Malik, demikian pula pendapat sebagian
pengikutnya (Malikiah). Ibnu Hazm juga berpendapat demikian.
Tarjih: Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini ialah pendapat pertama,
bahwa khotbah merupakan syarat sah shalat Jumat. Bahkan, sebagian ulama
menganggap hal ini menyerupai ijma’.
Adapun
dalil yang menguatkan pendapat ini adalah dalil yang diambil dari Alquran,
hadis, dan atsar dari sahabat serta tabi’in. Berikut ini
pemaparan dalil-dalil tersebut.
Dalil
Alquran
Firman
Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka
bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Ulama
salaf berbeda pendapat mengenai maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di
atas. Sebagian salaf mengatakan bahwa maknanya adalah ‘khotbah’, sedangkan
sebagian yang lain mengatakan bahwa maknanya adalah ‘shalat’. Ibnul Arabi
menilai bahwa yang sahih adalah kedua pemaknaan tersebut.
Adapun
yang berpendapat maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah
‘khotbah’ menyatakan kewajibannya dari dua sisi:
1.
Ayat
tersebut merupakan perintah untuk bersegera menuju khotbah, sedangkan hukum
asal perintah adalah wajib. Oleh karena itu, tidak ada perintah untuk bersegera
menuju sesuatu yang wajib kecuali maknanya adalah “untuk memenuhi kewajiban”.
2.
Allah
melarang jual beli ketika dikumandangkannya azan untuk khotbah Jumat. Dengan
demikian, jual beli haram dilakukan pada waktu itu. Pengharaman jual beli menunjukkan
wajibnya khotbah, karena sesuatu yang sunah tidak bisa mengharamkan yang mubah.
Adapun
yang berpendapat bahwa maksud “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah
‘shalat’, menyatakan bahwa khotbah termasuk dalam shalat. Seorang hamba
mengingat Allah dengan perbuatannya, sebagaimana ia bertasbih dengan
perbuatannya pula.
Selain
itu, Allah ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا
رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
“Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya (perniagaan dan permainan itu) dan mereka meninggalkan dirimu yang
sedang berdiri (berkhotbah).” (Q.s. Al-Jumu’ah:11)
Allah ta’ala mencela
mereka karena mereka berpaling dan meninggalkan khotbah, sedangkan makna
“wajib” secara syariat ialah ‘sesuatu yang dicela karena ditinggalkan’.
Dalil
hadits
Hadis
riwayat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; ia berkata,
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَقْعُدُ،
ثُمَّ يَقُومُ، كَمَا تَفْعَلُونَ الآنَ
“Nabi
berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri, seperti yang biasa
kalian lakukan sekarang.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis
riwayat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ
يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا. فَمَنْ نَبَأَكَ أَنَّهُ كَانَ
يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ صَلَّيتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَي
صَلَاة
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian
berdiri dan berkhotbah dengan berdiri. Siapa saja yang memberitakan kepadamu
kalau beliau berkhotbah dengan duduk, sesungguhnya dia telah berdusta. Sungguh,
aku telah shalat bersama beliau lebih dari dua ribu kali.” (H.r. Muslim, 2:589)
Walaupun
kedua hadis di atas hanya sebatas perbuatan Nabi yang tidak menunjukkan hukum
wajib, tetapi hadis tersebut merupakan penjelasan dari kewajiban yang
disebutkan secara umum dalam ayat “maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”
(Q.s. Al-Jumu’ah:9).
Dengan
demikian, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di
atas merupakan penjelasan dari perintah yang umum, maka perintah itu menjadi
wajib. Wallahu a’lam.
Hadis
lainnya yang menjadi dalil adalah hadis Malik bin Al-Huwairits,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Lebih
dari satu ulama mengatakan bahwa seumur hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau tidak pernah shalat Jumat tanpa khotbah, sedangkan beliau telah
memerintahkan kita untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Kalaulah boleh
shalat Jumat tanpa khotbah, pasti beliau akan melakukannya walau sekali,
sebagai pengajaran atas kebolehannya, karena khotbah sangat berkaitan dengan
shalat Jumat dan merupakan bagian dari shalat Jumat.
Dalil atsar sahabat
dan tabi’in
Atsar yang
diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
الخُطْبَةُ
مَوضُعُ الرَكْعَتَيْنِ، مَنْ فَاتَتْهُ الخُطْبَةُ صَلَّى أَرْبَعًا
“Khotbah
merupakan tempat dua rakaat. Siapa saja yang terlewat dari khotbah maka
hendaklah dia shalat empat rakaat.”
وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّمَا جُعِلَت
الخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ
أَرْبَعًا
Dalam
riwayat yang lain, “Khotbah itu tidak lain dijadikan pengganti dua rakaat.
Jika seseorang tidak mendapatkan khotbah maka hendaklah dia shalat empat
rakaat.”
Atsar di
atas menunjukkan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dari dua rakaat shalat
zuhur. Oleh karena itu, keduanya adalah perkara wajib karena merupakan bagian
dari shalat, begitu pula hukum penggantinya.
Atsar di
atas adalah atsar yang sanadnya terputus dan tidak bisa dijadikan
dalil. Kalaupun atsar tersebut benar-benar perkataan sahabat, maka
masih tetap ada perselisihan mengenai penggunaanya sebagai dasar hukum. Adapun
penyebuatan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa
sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini.
4.
Apakah yang menjadi syarat satu atau dua khotbah?
Mayoritas
ulama yang mempersyaratkat khotbah untuk shalat Jumat berbeda pendapat: apakah
cukup hanya dengan satu khotbah atau harus dua khotbah. Dengan demikian, mereka
terbagi menjadi dua pendapat.
Pendapat
pertama, mempersyaratkan dua khotbah.
Pendapat
ini merupakan pendapat Imam Malik dalam satu riwayat darinya, demikian pula
sebagian pengikutnya (Malikiah). Begitu pula Syafi’iah dan juga riwayat yang
masyhur dari Imam Ahmad, juga merupakan mazhab bagi Hanabilah.
Pendapat
kedua, tidak mempersyaratkan dua khotbah,
bahkan satu khotbah saja sudah mencukupi.
Pendapat
ini merupakan pendapat Hanafiah dan Imam Malik dalam satu riwayat darinya,
begitu pula sebagian Malikiah. Pendapat ini juga merupakan satu riwayat dari
Imam Ahmad.
Tarjih:
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama yang mempersyaratkan dua
khotbah untuk shalat Jumat. Berikut ini dalil-dalil yang menguatakan pendapat
tersebut.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ
قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
“Bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah dengan
berdiri. Beliau memisahkan keduanya dengan duduk.” (H.r. Bukhari, 1:221;
Muslim, 2:589)
Hadis
yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ
يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian
berdiri dan berkhotbah dengan berdiri.” (H.r. Muslim, 2:589)
Dari
dua hadis di atas jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkhotbah dengan dua khotbah, sedangkan beliau bersabda,
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Dalil
berikutnya adalah atsar mengenai dua khotbah yang merupakan pengganti
dari dua rakaat shalat zuhur, sehigga setiap satu khotbah merupakan pengganti
satu rakaat. Oleh karena itu, kekurangan satu khotbah itu seperti kurang satu
rakaat.
Sebagai
catatan, atsar yang menyatakan bahwa dua khotbah merupakan pengganti
dua rakaat shalat zuhur tidak bisa dijadikan dalil karena sanadnya terputus dan
itu hanya perkataan sahabat. Adapun penyebutan atsar tersebut di sini
hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil
dalam permasalahan ini.
Download Ebook Definisi Khutbah Jumat
Info Naskah
Categories:
Khutbah Jumat